Setelah terbentuknya Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Partai Politik Pemerintah, lahir sebuah tema politik anggaran, yakni alokasi dana sebesar Rp 15 miliar untuk setiap Daerah Pemilihan (Dapil) anggota DPR RI agar dimasukkan pada APBN 2011.Usulan yang digadang kuat oleh Fraksi Partai Golkar di Parlemen, bukan hanya melahirkan suara penolakan. Tapi juga ada dukungan. Bahkan ada yang bermain dalam wilayah abu-abu.
Di ruang publik, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tegas menolaknya. Begitu juga Gerindra dan PAN. PDIP memberikan catatan khusus, utamanya soal teknis bila hal itu direalisasi, sama seperti PPP dan PKB. Dan Partai Demokrat, juga terbelah. Ada yang mendukung, seperti anggota Komisi XI, Achsanul Qosasih, sementara rekannya separtai yang menolak adalah Ketua DPR RI Marzuki Alie.
Yang menarik, Golkar meng-klaim bahwa anggota Setgab sudah setuju dengan gagasan ini. Namun, pemerintah sendiri sudah memberi isyarat menolak kehendak tersebut. Jika “proyek” itu disetujui, setidaknya negara akan menyediakan Rp8,4 triliun per tahun, untuk 560 anggota DPR RI periode 2009-2014.
Wacana “proyek” Rp 15 miliar per-Dapil ini, secara terang terungkap melalui Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI, Setya Novanto. “Partai-partai dalam Setgab Koalisi sudah sepakat,” katanya.
"Soal anggaran Rp15 miliar itu, kita sudah rapat Setgab tadi malam (Kamis malam 03/06). Hasilnya menyetujui semua usulan tersebut. Namanya, dana alokasi program dan pemerataan daerah pemilihan," ungkap Setya Novanto.
Novanto memang begitu meyakinkan menjelaskan soal “proyek” Rp15 miliar ini. Selian menyatakan Setgab Koalisi sudah sepakat, Bendahara Umum DPP Golkar ini juga memperkuat landasan legal argumentasinya.
Landasan program yang dimaksud Novanto adalah pasal 15 ayat 3 dan 5 UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam pasal itu disebutkan, DPR dapat mengusulkan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam UU tentang APBN.
Menurut Golkar, pengalokasian dana anggaran itu sebagai bentuk pertanggungjawaban anggota DPR terpilih pada Dapilnya. Soal bagaimana mekanisme penyalurannya, akan diurus oleh Pemda dengan persetujuan DPR. Yang mengusulkan Pemda kepada anggota DPR, lalu anggota DPR menyerahkan ke Badan Anggaran, setelah itu dirapatkan dengan pemerintah. Setelah disetujui, pengalokasian ini secara sektoral dengan alokasi program pemerataan dapil.
Setelah proses tersebut disetujui dalam bentuk anggaran, dana tersebut dimasukkan ke APBN. Dalam penggunaannya nanti, kata Setya, anggaran Rp15 miliar itu diutamakan untuk kesejahteraan rakyat, antara lain berbentuk program pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur.
Untuk pertanggungjawabannya, tentu jadi perhatian. Alurnya, daerah yang mengadakan tender untuk dilaporkan ke pemerintah pusat. Lalu, kata Setya, sebelum realisasi program akan diaudit BPK, sehingga ada jaminan tidak salah sasaran.
Bisa jadi Novanto lupa, bagaimana beberapa kasus yang melibatkan temannya – sesama anggota DPR, dalam tindak pidana korupsi. Hampir semuanya terkait dengan “perjuangan” untuk menggolkan anggaran. Sebut saja, kasus korupsi Tanjung Api-Api, pengadaan kapal patroli Departemen Perhubungan, atau pengadaan sistem radio komunikasi terpadu Departemen Kehutanan.
"Tak ada kesepakatan di Setgab. Yang jelas, secara prinsip kami tidak setuju soal itu. Karena, kebijakan dana aspirasi itu sudah melampaui kewenangan kita di legislator," ungkap Sekretaris Jenderal PKS, Anis Matta.
Menurut Anis, pemerintah yang lebih berwenang menyalurkan anggaran ke daerah. Kalau itu terjadi, akan merusak pembangunan nasional secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, hal itu dinilai jelas akan merugikan negara.
“ Saya menolak itu. Saya tak ingin rakyat menyebut DPR sebagai perampok, jika menyetujui usulan Golkar tersebut,” ujar Ketua DPR RI Marzuki Alie seraya menjelaskan bahwa usulan Golkar soal anggaran Rp15 miliar untuk dibagi-bagikan per Dapil itu, hanya akan menurunkan citra, dan wibawa DPR di mata masyarakat.
Tak kalah kerasnya suara dari Partai Amanat Nasional (PAN). Melalui Ketua Bidang Kominasi DPP PAN, Bima Arya Sugiarto mengingatkan agar Golkar tidak memaksakan isu ini di dalam Setgab. PAN berharap, Golkar mau menghargai pendapat masing-masing fraksi yang menolak wacana ini.
"Proposal Golkar ini semakin mencoreng wajah parlemen," kata Bima.
Menurut Bima, parlemen tidak punya kewenangan dalam alokasi budget. “ Itu ranah eksekutif, dana aspirasi juga berpotensi untuk menyuburkan praktek kolutif antara parlemen, eksekutif dan bisnis."
“ Sikap ini, akan menjadi arahan bagi anggota PAN di parlemen. Keinginan membangun daerah, semua sudah ada alokasinya melalui RAPBN," ungkap Bima.
Nah, isyarat penolakan pemerintah juga mengemukan. Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Gedung DPR RI, Selasa (01/06) mengungkapkan alasan ketidaksetujuan itu. Pemerintah berpendapat, keterwakilan daerah pemilihan tidak hanya DPR saja, melainkan juga oleh DPD dan DPRD baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota.
Menteri Keuangan menyatakan jika hal ini diterapkan, Dapil Jawa dan Bali dengan jumlah penduduk yang lebih banyak akan mendapatkan alokasi yang lebih besar dari pada Dapil luar Jawa dan Bali. Demikian juga dapil wilayah bagian barat Indonesia akan mendapatkan alokasi yang lebih besar dibandingkan dapil wilayah Timur Indonesia.
Dengan demikian, apabila usulan tersebut disetujui maka alokasi dana per-Dapil tidak akan mendorong teratasinya masalah horizontal fiscal imbalance.
Menkeu berpandangan, usulan tersebut justru berpotensi menimbulkan inefisiensi dalam penggunaan dana, selain kurang terpenuhinya aspek ekualisasi dan keadilan. Karena, daerah dengan kapasitas keuangan tinggi justru mendapatkan alokasi, sedangkan daerah yang benar-benar membutuhkan namun berkapasitas keuangan rendah kurang mendapatkan alokasi.
Bahkan Menteri Keuangan juga menyampaikan ada potensi pelanggaran jika usulan tersebut dilaksanakan.Antara lain, berbagai peraturan perundangan seperti UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Lalu apa artinya klaim politik Golkar ? Toh, bila Setgab Koalisi memang benar dan sudah sepakat, bola “proyek” Rp15 miliar ini, dipastikan tinggal ditendang dan langsung gol di Parlemen.
Lantas bersuarakah partai-partai non-koalisi ? Fraksi Gerindra DPR terang-terangan menolaknya. Adalah Martin Hutabarat yang menyuarakan hal tersebut. “Usulan program pemerataan dan pembangunan daerah pemilihan senilai Rp15 miliar per anggota DPR itu, rawan korupsi. Lagi pula, program tersebut, tidak berkaitan langsung dengan rakyat,” ujar Martin.
"DPR ingin memperoleh legitimasi uang rakyat dengan menyogok rakyat. Kalau mau mendapat legitimasi harusnya membuat sistem politik yang baik, jangan nyogok dong," kata Rocky Gerung, pengamat politik dari Universitas Indonesia.
Rocky menambahkan, dana Rp 15 miliar ini juga cara DPR untuk bisa menguntungkan diri sendiri. "Fungsi DPR sudah jelas, membuat aturan untuk pemerintah. Bukan membuat aturan untuk menguntungkan diri sendiri."
Bisa jadi “proyek” Rp15 miliar per-Dapil ini memang membuat banyak pihak gerah. Tapi yang namanya politik, tidak pernah hitam-putih. Selalu ada celah untuk melakukan pembenaran.
Menurut Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar langkah itu tidak akan meningkatkan pamor Golkar.
"Saya kira tidak akan naik pamor di (tahun) 2014 nanti, malah turun," tutur Muhaimin.
Kata Muhaimin, dana itu tidak diperlukan dan bisa mengaburkan hak budget dan hak pelaksana budget. "Saya kira dana itu enggak perlu lah. Karena dengan sendirinya itu akan mengaburkan hak budget dan hak pelaksana dari budget."
Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mewanti-wanti agar permintaan alokasi anggaran per-Dapil itu dipertanggungjawabkan secara jelas. Sebab jika tidak, DPR sendiri yang akan terkena getahnya.
"Kalau itu jadi, harus ada tanggung jawab anggota DPR atas wilayah pemilihannya. Diharapkan kebijakan ini tidak memberikan peluang proses tawar menawar atau indikasi hal-hal yang kurang baik bagi citra DPR sendiri," ujarnya Sekjen PPP Irgan Chairul.
Jika sudah demikian, bagaimana nasib “proyek” Rp 15 miliar per Dapil ? Apa yang akan dilakukan kemudian oleh Partai Golkar yang berkehendak membela konstituennya? Memang, jika “proyek” itu disetujui, setidaknya negara akan menyediakan Rp8,4 triliun per tahun, untuk 560 anggota DPR RI periode 2009-2014.
Bila melihat peta dukung-mendukung soal ini, jelas terlihat adanya ketidakharmonisan diantara sesama anggota Setgab Koalisi. Namun, tidak bisa terlalu jauh pula melihatnya. Penolakan yang mengisi ruang publik saat ini, bisa jadi hanya bersifat sementara. Setelah dituak-utik, buntutnya setuju juga.
Tentu ada baiknya kita melakukan kilas balik, guna mengukur kekokohan anggota Setgab Koalisi. Saatnya mengkaji efektifitas koalisi partai. Hasil Rapat Paripurna DPR menyikapi hasil Pansus Angket Century, menunjukkan anggota Setgab Koalisi pendukung pemerintah, tidak solid. Sepak terjang partai-partai koalisi malah lebih membahayakan eksistensi pemerintahan.
Ingat, pada Rapat Paripurna DPR, Rabu tengah malam (03/03) yang lalu, melalui voting melahirkan keputusan memilih Opsi C. Itu artinya, DPR menganggap bailout Rp6,7 triliun terhadap Bank Century, bermasalah, dan menyerahkan kasusnya ke proses hukum.
Hasil voting itu jelas menggambarkan betapa beberapa parpol pendukung koalisi, tidak komit. Sejak pengambilan suara tahap pertama - - untuk menyetujui atau tidak Opsi A plus C melengkapi opsi A, dan C yang sudah ada sebelumnya, pembelotan itu sudah terlihat. Bahkan sejak awal pembentukan Pansus Century, soliditas koalisi sudah tidak terjaga dengan baik.
Ketika voting pertama itu, sebanyak 294 anggota parlemen memilih Paket I yang berisi Opsi A dan C. Paket ini antara lain dipilih oleh Partai Golkar 104 suara, PDI Perjuangan (90), PKS, Gerindra (25), dan Hanura (17). Mereka mengalahkan 246 anggota Dewan dengan pilihan Opsi A, C, dan A+C (gabungan), yang didukung Partai Demokrat (148 suara), PAN (40), PPP (33) serta PKB (25).
Pada pengambilan suara tahap kedua, hasilnya lebih buruk lagi buat partai pendukung pemerintah. Ketika harus memilih Opsi A, yang menganggap bailout Bank Century tak bermasalah, atau Opsi C (bailout bermasalah), pengkhiatan makin parah. PPP, yang sebelumnya masih dalam barisan koalisi, berbalik mendukung oposisi dengan pilihan C.
Akibatnya, Partai Demokrat, PKB, dan PAN hanya meraih 212 suara. Perolehan ini jelas, kalah jauh dari perolehan (325 suara), yang dimotori Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, Gerindra, dan Hanura, ditambah PPP.
Belajar dari kondisi paripurna, sekarang, koalisi coba diefektifkan melalui Setgab Koalisi. Namun, dalam iji coba “proyek” Rp 15 miliar, sudah terlihat nuansa lahirnya faksi-faksi dalam Setgab.
Mengapa bisa terjadi ? Merujuk pengalaman soal Century, toh Parpol pendukung pemerintah yang “berkhianat” tidak mendapat hukuman atas prilakunya. Sementara yang mendukungpun tidak mendapatkan penghargaan yang setimpal (Bisa jadi hanya Golkar dengan dijadikan Ketua Harian Setgab).
Apa artinya dari semua itu? Dalam proses kelanjutan pemerintahan, parpol koalisi, baik mendukung atau menentang, sama saja artinya. Parpol bisa bermain-main sendiri, demi meraih keuntungan dalam setiap moment yang ada. Tokh, kedepan, hak menyatakan pendapat masih menggantung. Belum pernah ada keputusan untuk menolak atau melanjutkan. Ini moment yang cukup strategis dalam permainan politik kedepan.
Suara seperti ini pernah diungkapkan Ketua DPP PAN Bima Arya Sugiarto. Bekas pengamat politik ini, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selaku ikon pemimpin partai koalisi, bersikap tegas. Bima menginginkan, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu, menghukum parpol anggota koalisi yang mengambil sikap berbeda dalam kasus Bank Century.
Intinya, SBY harus tegas menerapkan prinsip reward and punishment. Jadi, bagi siapa yang berprestasi, harus mendapat penghargaan. Kalau tidak produktif, apalagi sampai mengganggu, perlu diganjar dengan hukuman.
Tujuannya jelas, menjaga efektifitas pemerintahan. Terutama agar pemerintah lebih leluasa dalam menunaikan janji-janji kampanye Pemilu 2009. Dan pada gilirannya, masyarakat lebih sejahtera.
Fenomena politik itu tidak sekedar melahirkan besarnya perbedaan pendapat dalam memandang sebuah kebijakan secara keseluruhan. Yang lebih berbahaya, hal itu jelas menunjukkan tercerabutnya kekuatan pemerintah di Parlemen. Padahal, idealnya pemerintah dominan, agar kuat, dan bisa menjalankan programnya untuk mensejahterakan masyarakat.
Jauh sebelumnya, Partai Demokrat sudah terang-terangan meminta agar partai koalisi yang tak sejalan dengan kebijakan pemerintah, pamit baik-baik. Karena, tidak ada gunanya mempertahankan pakta kebersamaan, jika tetap saling curiga, saling serang. Padahal, semuanya bisa dibicarakan, dan dirembukkan baik-baik.
Ketika itu, Sekjen Partai Demokrat Amir Syamsuddin, dan belakangan anggota Dewan Pertimbangan Hayono Isman, dalam berbagai kesempatan kerap menyuarakan ketidaksukaan pada para pembelot itu. Keduanya berpandangan lebih fair kalau mereka keluar baik-baik, dan memperkuat barisan oposisi.
Tidak seperti sekarang, duduk bersama seolah-olah sebagai partner, tetapi selalu merecoki. Mestinya, sebagai teman, tidak usah berlaku mesra, tetapi harus saling mendukung untuk kebaikan bersama.
Apakah moment “proyek” Rp 15 miliar ini akan menjadi ajang ujicoba kedua bagi kekompakan Parpol pendukung pemerintah yang ada di Setgab? Atau akan ada permainan baru, terkait tiadanya reward and punishment ? Kita lihat siapa yang lebih piawai.
© Copyright 2024, All Rights Reserved